Karenaikan air laut berusaha mempertahankan kadar air dalam tubuhnya maka volume pembuangan urine menjadi jarang terjadi. Agar air tidak keluar dari dalam tubuhnya terlalu sering, glomerolus ikan air laut menjadi lebih kecil dan lebih jarang dibandingkan dengan ikan yang hidup di air tawar. Baca juga: Sistem peredaran darah reptil
Jakarta, –Hampir setiap tahun DKI Jakarta mengalami masalah banjir dengan dampak yang bervariasi. Pemerintah bersama masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah, mengantisipasi dan mengendalikan dampak banjir tersebut. Secara geografis, DKI Jakarta merupakan dataran rendah yang berada di antara hulu sungai dan pesisir sehingga potensi banjirnya besar. Berikut ini adalah adalah sejumlah penyebab utama Jakarta sering mengalami banjir sabagaimana disebutkan dalam situs Pantau Banjir Jakarta. Pertama, banjir hujan lokal. Hujan yang terjadi dengan intensitas tinggi dalam durasi yang lama di wilayah Jakarta akan mengisi salurah-saluran air dan daerah cekung. Jika tidak tertampung lagi, air akan meluap hingga menyebabkan banjir. Selain itu, dimensi drainase kota Jakarta dirancang untuk menampung debit air dengan curah hujan maksimal 120 mm/hari. Namun, pada beberapa hujan besar ekstrem yang terjadi di Jakarta, curah hujan melebihi kapasitas tersebut. Contohnya pada 1 Januari 2020 lalu, curah hujan Jakarta mencapai 377 mm/hari dan merupakan yang tertinggi selama 24 tahun. Sehingga banjir pun melanda sebagian besar wilayah Ibu Kota. Kedua, banjir kiriman. Karena berada di wilayah dataran rendah dan memiliki 13 aliran sungai, Jakarta dapat banjir jika hujan terjadi di hulu sungai. Hujan dengan intesitas tinggi di daerah hulu Jawa Barat dan Banten akan terbawa melalui aliran sungai ke Jakarta sebelum lepas ke laut. Hal inilah yang membuat sungai yang bermuara di Jakarta meluap dan mengakibatkan banjir. Pada saat kondisi tertentu kapasitas aliran sungai di Jakarta tersebut tidak cukup menampung air, sehingga terjadi limpasan di beberapa bantaran sungai di Jakarta. Ketiga, banjir rob. Selain karena hujan dan kiriman debit air dari hulu, Jakarta juga rentan terkena pasang air laut Rob. Hal ini biasanya terjadi di wilayah pesisir atau tepi laut Jakarta. Kini, di samping karena pasangnya air laut, penurunan muka tanah di utara Jakarta juga mempengaruhi meningkatnya banjir rob. Langkah Pemprov DKIPada situs yang sama dijelaskan 4 langkah Pemprov DKI Jakarta dalam mengendalikan banjir, yakni, sistem pengendalian banjir. Sistem pengendalian banjir di Jakarta dari sistem drainase utama, sistem drainase kedua, dan sistem waduk-pompa. Sistem drainase utama sendiri dibagi kembali menjadi Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Hujan lokal pun akan dialirkan secara gravitasi ke sistem drainase kedua yang kemudian dibuang ke sistem utama hingga berakhir di laut. Sistem waduk-pompa membantu menyedot air yang menggenang dan mengembalikannya ke aliran sungai. Pompa air. Dinas Sumber Daya Air DSDA mengelola 487 unit pompa air yang tersebar di 178 lokasi di sekitar DKI Jakarta. Pompa-pompa yang fungsi utamanya adalah untuk memompa air dari tempat rendah ke tempat tinggi ini dapat memitigasi banjir dengan menyedot air yang menggenang dan mengalirkannya ke tempat yang seharusnya, seperti sungai. Sebelum masuk ke dalam pompa, air akan disaring terlebih dahulu dan sampah yang tertangkap akan dipisahkan agar tidak terjadi penyumbatan. Semua pompa air juga dilengkapi dengan sensor sehingga status operasionalnya dapat selalu dilacak menggunakan JakPantau. Gerebek lumpur. Merupakan kegiatan pengerukan lumpur yang dilakukan secara masif di danau, sungai/kali, dan waduk di 5 wilayah kota administrasi Jakarta. Program ini bertujuan untuk membantu mengurangi proses pendangkalan sehingga meningkatkan kapasitas danau, sungai/kali, dan waduk saat musim hujan hingga maksimal. Program ini melibatkan Sekitar personil pasukan biru dikerahkan, di dalamnya termasuk PKLG Petugas Kebersihan Luar Gedung dan 205 Operator armada dumptruck dan sejumlah alat berat berbagai tipe berskala hingga 3 tiga kali lipat dari kapasitas biasanya. Kegiatan dilakukan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan ketat. Drainase vertikal. Salah satu metode penanganan banjir yang digunakan oleh Jakarta adalah pembangunan drainase vertikal, dikenal juga sebagai sumur resapan. Drainase vertikal dapat dibuat dengan menggali sedalam 30 hingga 80 meter dengan diameter sekitar 1 meter. Dinding lubang pun perlu diperkuat menggunakan bata dengan celah 1 jari, serta dasar lubang yang ditutupi kerikil atau koral. Selain untuk menampung air, daya serap drainase vertikal juga dapat membantu mempercepat peresapan air ke dalam tanah. Hingga bulan Agustus 2020, sudah ada 1492 titik sumur resapan yang dibangun di sekitar Jakarta, antara lain di sekolah, taman kota, dan kantor kecamatan. Berkat cara membangun yang cukup sederhana, Pemprov DKI Jakarta mengimbau warga berkolaborasi untuk membuat drainase vertikal di lingkungan tempat tinggal. Sumber Saksikan live streaming program-program BTV di sini Meriahkan HUT RI dan ASEAN, Pemprov DKI Luncurkan Half Marathon Jakarta MEGAPOLITAN Pemprov DKI Sebut Total Dana untuk PPOP Ragunan Rp 70 Miliar per Tahun MEGAPOLITAN Festival Jakarta Great Sale, Pemprov DKI Gelar Diskon Besar-besaran MEGAPOLITAN Pemprov DKI Tawarkan Konsep Baru Jam Kerja Kantor di Jakarta MEGAPOLITAN Tinjau Kesiapan KTT ASEAN 2023, PJ Gubernur DKI Sebut Sudah 99 Persen MEGAPOLITAN Kadishub DKI Sebut Jumlah Peserta Mudik Gratis Tahun Ini Melebihi Target MEGAPOLITANIamenjelaskan, pengendapan atau tunggakan dari 56 kelurahan di Jakarta Barat itu bervariasi. Namun ada juga beberapa kelurahan yang menunggak dana tersebut dengan jumlah terbesar dan tidak ada upaya untuk mengangsur pengembalian. Ia menyebutkan, pengendapan terbesar terjadi di Kelurahan Glodok, yakni hingga mencapai Rp 2,3 miliar.
Jakarta Sekitar 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Demikian disampaikan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Eddy Hermawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis 16 September 2021. "Jangan terkecoh dengan kawasan Pantura saja, jangan terkecoh dengan Jakarta saja, apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya, inilah 115 pulau-pulau sedang dan kecil ini bisa tenggelam," kata Eddy. HEADLINE Sandiaga Uno Resmi Bergabung ke PPP, Peluang Jadi Cawapres Ganjar Pranowo? HEADLINE Puan Sebut AHY Masuk Bursa Cawapres Ganjar Pranowo, Serius atau Gimik? HEADLINE Pembahasan RUU Kesehatan Dibayangi Ancaman Mogok Nasional, Solusinya? Eddy berharap perhatian juga tertuju pada pulau-pulau sedang dan kecil di Indonesia seperti daerah wisata termasuk Bali dan Nias dan pulau-pulau lain. Termasuk di sepanjang pantai barat Sumatera yang juga terancam tenggelam, sehingga tidak hanya terpaku pada persoalan terancamnya Jakarta atau kota pesisir di Pantai Utara Jawa saja. "Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil juga terancam," tuturnya. Menurut Eddy, kenaikan air laut tersebut disebabkan perubahan iklim dan penurunan muka tanah sehingga perlu kombinasi upaya mitigasi dan adaptasi ke depannya agar tidak kehilangan pulau-pulau tersebut. Namun begitu, kepada dia mengatakan publik tidak usah merasakan kekhawatiran yang berlebihan. Khususnya terkait besaran angka kenaikan air muka laut yang sebenarnya lebih kecil dari angka yang banyak dirilis berbagai lembaga. Apalagi jika merujuk pada laporan dari International Panel Climate Change IPCC, badan resmi dunia yang bertangung jawab tentang perubahan iklim. "Kalau melihat dari angka yang secara global pun kecil. Bahkan, 2030 di mana Presiden AS Joe Biden mengatakan hal itu relatif kecil. Saya menghitung hanya 25 cm di 2050, jadi 2030 tentu lebih kecil lagi kenaikan air muka lautnya," jelas Eddy, Jumat 17/9/2021 petang. Dia mengatakan, ada media yang mengabarkan bahwa kenaikan air muka laut di pesisir Jakarta bisa mencapai empat meter pada 2030. Hal itu terlalu ekstrim dan berbahaya, karena jika ada bias pun mungkin hanya sampai 50 cm, tidak sampai hitungan meter. "Jadi model dari mana angka meter itu? Logika saja, perjalanan es mencair dari Kutub ke Jakarta berapa lama? Kalau memang es mencair karena memang emisi CO2 naik, pasti negara-negara Skandinavia seperti Denmark dan Belgia habis duluan, nggak usah jauh-jauh, Singapura juga," tegas Eddy. Yang jelas, lanjut dia, perubahan iklim memang terjadi, kita tak bisa menghentikan. Tapi bisa menghambatnya dengan mengantisipasi emisi CO2 itu dengan menguranginya. Karena kalau menihilkam susah, sementara tiap hari orang naik mobil dan tiap pembakaran karbon menghasilkan CO2. Negara-negara penghasil minyak juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, kebakaran hutan juga. Karena tiap yang dibakar menghasilkan emisi. "Memang ada keinginan untuk menghapus dampak itu menjadi nol, misalnya dengan menghadirkan teknologi mobil listrik. Tapi mobilnya belum siap pakai, stasiun pengisiannya belum ada. Mau pakai gas juga infrastrukturnya juga belum support," jelas Eddy. Jadi, lanjut dia, tidak bijak juga jika dikatakan perubahan iklim melulu soal ulah manusia, karena juga ada pengaruh alamiah. Seperti aktivitas matahari yang mencapai puncak panasnya yang berimbas ke es di kutub. "Manusia bukan faktor utamanya, tapi manusia yang memperparahnya. Selama kita manusia tidak tanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuat maka akan sulit. Di sisi lain, ini terkait dengan sumber penghidupan mereka. Misal membuka lahan untuk bertani dengan cara membakar, jadi dilematis juga," ujar Eddy. Dia pun menyarankan pemerintah menyediakan mata pencaharian yang aktivitas sehari-harinya tidak memicu kerusakan alam agar mereka bisa menghasilkan sesuatu untuk hidup tanpa harus merusak lingkungan. "Jadi menurut hemat saya, untuk mengantisipasi agar air muka laut tak semakin parah, coba bangun mangrove di sepanjang Pantura. Hal itu sudah dilakukan tapi belum merata, kemudian juga penghijauan juga ditingkatkan untuk mengurangi emisi tadi," pungkas Eddy. Infografis 115 Pulau di Indonesia Terancam Tenggelam. itu, Project Officer Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Walhi Nasional Abdul Ghofar mengatakan pihaknya tidak kaget dengan data yang dilansir BRIN. "Walhi Sumsel dalam Laporan Tahunan 2019, salah satunya menyebutkan empat pulau di Sumsel sudah dinyatakan hilang. Demikian pula ketika isu dampak krisis iklim ramai kembali waktu Presiden AS Joe Biden bilang Jakarta merupakan salah satu kota yang akan tenggelam. Faktanya, tidak hanya pesisir Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan wilayah utara Pulau Jawa sama rentannya dengan Jakarta," ujar Abdul kepada Jumat petang. Dia mengatakan, angka penurunan permukaan tanah di lokasi tersebut lebih cepat dibandingkan Jakarta, selaras dengan kenaikan air laut sebagai dampak krisis iklim. Berikutnya pulau-pulau kecil, yang rentan karena eksposenya memang agak minim karena bukan merupakan kawasan padat penduduk. "Kalau melihat datanya, semua itu memang dampak dari perubahan iklim ya, kalau soal adanya ulah manusia di situ, baik yang tinggal di wilayah pulau atau dalam wilayah yang lebih besar, saya pikir kalau melihat kausalitasnya memang berkaitan erat dengan aktivitas manusia," tegas Abdul. Dia mengatakan, Intergovernmental Panel Climate Change IPCC pada bulan Agustus 2021 merilis laporan yang menyatakan bahwa aktivitas manusia, mulai dari industri tranposrtasi, deforestasi untuk alih fungsi kawasan perkebunan dan pertanian, maupun permukiman telah menjadi penyebab krisis iklim saat ini. "Jadi human activity adalah faktor utama terjadinya krisis iklim. Tetapi kalau mau dilihat di skala lebih kecil, keterancaman pulau-pulau kecil itu dampak dari aktivitas manusia di sekutar pulau itu sangat minimalis, paling soal perubahan fungsi kawasan, seperti mangrove sebagai benteng alami pesisir berubah fungsi, misalnya untuk tambak," jelas Abdul. Ketika ditanyakan sampai kapan pulau-pulau itu bisa bertahan, dia mengatakan Walhi daerah umumnya menggunakan permodelan satelit, seperti Walhi Sumsel yang mengukur hilangnya pulau-pulau kecil. Sementara lembaga Climate Center membuat permodelan dengan tiga skenario, pertama skenario paling buruk, moderat, dan yang bagus. Kalau diambil skala moderat, mereka memproyeksikan kenaikan hingga tahun 2100 sekitar 0,4 meter atau 40 cm. "Memang terlihat tidak tinggi, tapi jalau kita melihat kawasan permukiman di Indonesia itu sebagian besar wilayah pesisir yang hari ini sudah mengalami dampak signifikan, Pekalongan itu sudah terdampak parah, Jakarta Utara parah, Demak parah, Semarang parah, apalagi nanti kalau menunggu tahun 2050 atau 2100, dampaknya akan banyak pengungsi," ujar Abdul. Menurut dia, ada dua langkah yang harus dilakukan pemerintah pusat untuk mencegah krisis ini terjadi. Pertama, pengurangan emisi karbon itu harus signifikan dilakukan, karena rencana pengurangan emisi Indonesia itu kurang ambisius dan kurang serius. Jadi pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang lebih serius dan ambisus untuk pengurangan emisi di semua sektor. "Berikutnya transisi energi, kita tahu lebih dari 50 persen pembangkit listrik kita itu didominasi energi kotor terutama yang bersumber dari batubara. Nah, dorongan untuk melakukan penghentian operasj PLTU Batubara hatus dipercepat. Apalagi tren global banyak yang sudah bertransisi, PLTU sudah lama dipensiunkan, mulai mengejar enegeri baru terbarukan," jelas Abdul. Sementara dalam skala lokal, lanjut dia, ada upaya untuk melakukan adaptasi dan mitigasi, salah satunya melakukan pendekatan di kawasan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pertahanan dari ombak harus diperbanyak. Pemerintah bisa membantu untuk membiayai pembibitan dan pemeliharaan benteng alami yang sudah diinisiasi masyarakat. "Jadi, alih fungsi lahan di mangrove itu harus dicegah, karena banyak praktik terutama di pesisir utara Pulau Jawa, kawasan ekosistem mangrove itu dialihfungsikan jadi kawasan industri, seperti di Kendal dekat Semarang," pungkas 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional, Eddy Hermawan berharap perhatian juga tertuju pada daerah wisata termasuk Bali dan...Hitung Mundur Jakarta dan BaliIlustrasi perubahan iklim. dok. Marcomini/lucasmarcominiSelain menyorot ratusan pulau di Indonesia yang bakal tenggelam akibat perubahan iklim dan pemanasan global, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Eddy Hermawan juga memberi catatan khusus terhadap kawasan pesisir Jakarta. "Tidak hanya pemanasan global, penurunan muka tanah juga merupakan kontributor cukup besar yang menyebabkan Jakarta menjadi terendam," ujar Eddy. Ia menyarankan untuk lebih mengutamakan langkah-langkah yang memprioritaskan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan seperti penanaman mangrove dan reboisasi serta menghasilkan dan menerapkan inovasi yang bisa menjadi solusi terhadap masalah itu. Eddy menuturkan, hasil simulasi menunjukkan kenaikan permukaan air laut akan menutupi Jakarta secara permanen pada 2050 sekitar 160,4 km persegi atau sama dengan 24,3 persen dari luas total wilayah saat ini. Air laut masuk antara lain ke wilayah Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan, Bandara Soekarno Hatta, Koja dan Cilincing. Selain perubahan iklim dan penurunan muka tanah, Eddy menuturkan kondisi wilayah Jakarta juga menyebabkan potensi wilayah itu terendam air laut juga makin tinggi karena berupa wilayah landai dan teluk. "Kondisi lokal setempat Jakarta yang memang juga menjadi serangan empuk bagi masuknya air laut karena tanahnya landai, empuk, bentuknya teluk," tutur dia. Eddy menuturkan, semua kawasan Pantura memang berisiko masuknya air laut, namun terlebih khusus daerah Jakarta karena kondisi lokal tanah yang empuk dan topografi wilayah yang membuat Jakarta makin berisiko terendam. "Pada dasarnya yang terjadi saat ini adalah kombinasi yang sudah airnya naik karena es mencair di kutub tetapi juga penurunan muka tanah yang tidak bisa kita kontrol sebenarnya," jelas dia. Sementara itu, Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim Irvan Pulungan mengatakan salah satu faktor yang meningkatkan potensi Jakarta tenggelam di tengah dampak perubahan iklim adalah penggunaan sumber daya air secara masif yang menyebabkan penurunan muka tanah. "Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan potensi tenggelamnya Jakarta, yaitu letak geografis DKI Jakarta yang memang 40 persen wilayahnya berada di bawah permukaan laut, tingkat urbanisasi yang masif menyebabkan pembebanan pembangunan, serta penggunaan sumber air yang masif menyebabkan turunnya permukaan tanah," kata Irvan. Dia menuturkan, sebagai upaya mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis terutama untuk pengendalian bencana perubahan iklim, pengendalian banjir dan perlindungan pesisir, serta perlambatan penurunan muka tanah. "Untuk pengendalian bencana perubahan iklim, Pemerintah DKI mengeluarkan sejumlah kebijakan/regulasi terkait seperti rencana aksi daerah penurunan gas rumah kaca, bangunan gedung hijau, perlindungan dan pengelolaan pohon, dan tim kerja mitigasi dan adaptasi bencana iklim," jelas Irvan. Aksi yang telah dilakukan terkait pengendalian untuk perubahan iklim antara lain zona rendah emisi di kawasan Kota Tua, peningkatan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau, kerja sama antar pemerintah daerah hulu dalam pengelolaan daerah aliran sungai dan tata kelola wilayah tangkapan air, serta perluasan layanan air bersih melalui subsidi air minum. Sementara aksi yang telah dilakukan terkait pengendalian banjir dan perlindungan pesisir antara lain pengerukan sungai untuk memberikan ruang tambahan bagi aliran air, sumur resapan, penanaman mangrove di pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, pembangunan tanggul pantai, peningkatan adaptasi masyarakat atas bencana banjir, dan penyusunan rencana kontijensi banjir serta garis komando dalam pelaksanaan evakuasi kejadian banjir. Irvan menuturkan perlunya inovasi dalam tata kelola kawasan perkotaan, dan pendekatan pengelolaan sumber daya yang lebih sirkular. Pemerintah DKI Jakarta juga mendorong kolaborasi aksi pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil dan organisasi akademik dalam menanggulangi krisis iklim melalui pembentukan Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Di sisi lain, melalui Peraturan Gubernur Pergub Nomor 57 Tahun 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan subsidi air bersih untuk mendorong terwujudnya perluasan layanan air bersih bagi warga Jakarta yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi penggunaan air tanah yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta. Selain Jakarta, Pulau Bali juga diprediksi akan tenggelam. Pada tahun 2050, Pulau Bali diprediksi akan terendam seluas 489 km. Hal itu disebabkan oleh curah hujan yang terus meningkat dalam jangka panjang. Terkait hal itu, Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama mengatakan, dirinya tidak membantah temuan itu. Sejak lama Walhi Bali sudah mengingatkan banyak pihak soal adanya potensi kenaikan air laut yang lama-kelamaan membuat Bali tenggelam dan hilang. Selain perubahan iklim, kenaikan muka air laut di wilayah pesisir juga banyak disebabkan oleh pembangunan pariwisata yang tidak ramah lingkungan. "Pembangunan proyek-proyek yang berada di pesisir ini yang mengancam Pulau Bali sesungguhnya. Kalau dibilang potensi tenggelam, tentunya itu sudah lama kami sadari," kata Made Juli saat dihubungi Jumat 17/9/2021. Dia mengatakan, temuan Walhi mengungkap abrasi di pesisir Bali sudah terjadi sejak tahun 60-an. Sejak landasan pacu Bandara Ngurah Rai dibangun dengan mereklamasi pantai. Berdasarkan pencitraan tahun 1972 hingga saat ini tercatat garis pantai mundur hingga ribuan meter. Ukuran tahun 1972 dipakai karena di periode itulah dimulainya revolusi industri yang menjadi awal terjadinya perubahan iklim. "Pura Cedok Waru itu saksinya, mundur sampai tiga kali karena reklamasi air laut naik. Jadinya pura itu tenggelam lalu dipindah lagi, itu sampai tiga kali," kata Made Juli. Perubahan iklim secara global diakui memang menjadi salah satu penyebab naiknya muka air laut di banyak tempat. Tapi bukan berarti pihaknya tutup mata terhadap perusakan lingkungan yang juga marak terjadi. Dia mencontohkan pembangunan proyek-proyek pariwisata di pesisir Bali, yang suka tidak suka turut menjadi biang keladi yang mempercepat Bali tenggelam. Apalagi melihat proyek-proyek tambang pasir, proyek perluasan bandara 153 hektare dan rencana perluasan pelabuhan seluas hektare. "Kalau dalam hukum tata ruang itu kan seharusnya hukum yang mengatur pariwisata, pada kenyataanya di Bali pariwisata yang mengatur hukum," tegas Made Juli. Dia lantas memberi contoh, ada investor ingin membangun destinasi wisata tapi di wilayah konservasi. Kenyataannya bukan pariwisatanya yang mengikuti aturan konservasi, tapi hukumnya yang dipermainkan agar wilayah konservasi ini bisa mengakomodir pariwisata. "Baru-baru ini, tahun 2019, itu mangrove kita itu mati 17 hektare akibat reklamasi Pelabuhan Benoa," kata Made Juli. Saat ini di Bali, kata dia, ada Perda Zonasi Pesisir, namanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Praktiknya sama seperti tata ruang, mana daerah yang boleh dibangun, dan mana daerah yang perlu dilindungi. "Tapi pada kenyataannya, perda ini banyak mengakomodir proyek-proyek yang merusak lingkungan hidup, seperti tambang pasir, reklamasi, dan perluasan kawasan pesisir. Jika proyek-proyek seperti itu malah diakomodir, maka potensi tenggelamnya Bali akan lebih cepat," Made Juli Segera Hilang dari PetaEmisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. PixabayAdalah Presiden Amerika Serikat AS Joe Biden yang memantik polemik di Tanah Air. Jauh-jauh berbicara dari Washington DC, Amerika Serikat, dia berbicara tentang wilayah DKI Jakarta yang dalam kondisi terancam. Tak heran kalau ucapan Biden membuat perhatian publik sedikit teralihkan dari kasus Covid-19 yang sedang tinggi-tingginya. Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada 27 Juli lalu, Biden menyebutkan bahwa Jakarta terancam tenggelam. Penyebabnya adalah perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia sehingga Indonesia harus memindahkan Ibu Kota negaranya. Dia menyitir laporan Badan Antariksa AS NASA yang mengatakan meningkatnya suhu global dan lapisan es yang mencair membuat banyak kota di pesisir seperti Jakarta menghadapi risiko banjir. Juga adanya luapan air laut yang semakin besar. Menurut situs resmi Gedung Putih, pada Jumat 30/7/2021, Biden mulai membahas isu perubahan iklim dengan menyampaikan bagaimana masalah tersebut memiliki dampak berbahaya yang sama terhadap semua negara. Walaupun isu lingkungan tersebut sebenarnya sudah lama jadi pembahasan, kali ini gaungnya berbeda karena disampaikan seorang presiden dari negara adikuasa. Kalau soal kenaikan air laut dan penurunan tanah sudah lama diakui memang telah terjadi. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, misalnya, pernah menyampaikan proyeksi permukaan laut pada 2050 dan 2100 akan naik 25-50 sentimeter cm. Kenaikan permukaan laut akan mengancam warga kawasan pesisir di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Demak. LIPI juga membeberkan faktor lain yang ikut mendukung penurunan permukaan tanah Jakarta. Salah satunya akibat pertambahan bangunan dalam skala masif setiap tahun. Bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, perumahan menyebabkan daerah resapan air semakin menipis. Hal itu, kata ahli, perlu ditata ulang oleh pemerintah. Hal senada diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Walhi. Dikutip dari laman abrasi mengancam keberadaan pulau-pulau di pesisir Provinsi Riau. Abrasi parah antara lain terjadi di Pulau Bengkalis, Pulau Batu Mandi Rokan Hilir, Pulau Rupat di Bengkalis dan Pulau Rangsang. Selain hantaman gelombang laut dan pertahanan hutan mangrove minim, laju abrasi juga didorong alih fungsi lahan. Hasil overlay garis pantai menunjukkan, sebagian besar abrasi terjadi di pantai utara Pulau Bengkalis. Paling parah di bagian barat diikuti bagian selatan. Laju abrasi dari 1988-2004, pada level 30-40 hektar rata-rata per tahun. Sejak 2004 ke atas, laju abrasi naik lebih dua kali lipat rata-rata per tahun. Demikian pula dengan Pulau Rangsang, yang meski tak selaju abrasi, akresi di pulau ini selama 24 tahun merujuk hasil overlay hanya 243,53 hektare atau rata-rata 10,29 hektare per tahun. Artinya, pengurangan daratan Pulau Rangsang sejak 1990-2014 seluas 854 hektar atau 36,08 hektare rata-rata per tahun. Bila melihat laju abrasi antara kedua pulau itu, Rangsang tampak lebih kritis. Dengan luas pulau 909,8 kilometer persegi, rata-rata laju abrasi per tahun Pulau Rangsang hampir setara abrasi Bengkalis yang luasnya kilometer persegi. Kondisi tanah dan letak pulau pun sama. Umumnya tanah rawa gambut dan langsung berhadapan dengan laut terbuka. Inti dari semakin parahnya abrasi tersebut adalah perencanaan diterapkan pemerintah di pulau-pulau itu tidak adaptif. Contoh, pemberian izin-izin perkebunan dan konsesi hutan tanaman industri HTI di pulau berkontur gambut, seperti Pulau Rangsang, Rupat dan Bengkalis merupakan sumber utama masalah ancaman. Tak hanya itu, masih di Provinsi Riau, Pulau Padang adalah pulau lainnya yang disebut terancam tenggelam. Tenggelamnya pulau ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem gambut akibat ulah manusia yang sengaja membakar hutan dan lahan. Permukaan laut akan meningkat dan memicu abrasi Pulau Padang. Di luar Provinsi Riau, ada Pulau Salah Namo atau Salah Nama yang terletak di Banyu Asin, Sumatera Selatan yang juga terancam tenggelam. Pulau itu kini memiliki ketinggian dua meter di atas permukaan laut. Dilansir dari laman The Star, Kepala Unit Lingkungan di Pulau Namo, Syahrul mengatakan, warga di pulau itu sudah tahu bahwa permukaan laut yang naik dapat menenggelamkan tempat tinggal mereka. Warga pun telah memindahkan rumah mereka berjarak puluhan meter dari posisi sebelumnya. Masih di Sumsel, ada Pulau Burung yang juga terancam lenyap. Kekinian, ketinggian pulau itu hampir sama dengan permukaan laut. Ancaman lenyapnya pulau ini disebabkan oleh pemanasan global. Kemudian Pulau Kelor yang masuk dalam gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta diprediksi terancam eksistensinya. Hal itu ditunjukkan lewat luas pulau yang kian menyempit. Kini, luas pulau tersebut diperkirakan hanya tersisa satu hektare saja. Yang paling menghawatirkan, pada tahun 2050, Pulau Bali diprediksi akan terendam seluas 489 km. Hal itu disebabkan oleh curah hujan yang terus meningkat dalam jangka panjang. Selain terancam tenggelam, Pulau Bali juga diprediksi akan terbagi menjadi dua bagian. Nusa Dua akan menjadi pulau terpisah dari Pulau Bali. Sementara, kabar terakhir yang dilansir Walhi, dua pulau yang berada di Sumatera Selatan yakni Pulau Betet dan Pulau Gundul sudah lenyap tenggelam. Sementara empat lainnya terancam tenggelam. Informasi terbaru yang membuat kita makin bergidik datang dari Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN Eddy Hermawan yang mengatakan 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. "Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil juga terancam," tutur Eddy di Jakarta, Kamis 16/9/2021. Sulit untuk dibayangkan, 20 atau 30 tahun ke depan, kita tak akan lagi menemukan ratusan noktah kecil di peta Kepulauan Nusantara. * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan. Padahalhal ini sepenuhnya tidak benar, banyak arsitek yang telah menyumbangkan pemikiran bagi dunia bagaimana membangun rumah tinggal ataupun gedung yang ramah lingkungan sehingga tidak terjadi global warming, dan kerusakan di alam sekitarnya. Dengan keahlian seorang arsitek maka lingkungan dapat terselamatkan dengan baik.JawabanProses penguapan air laut dan sungai paling banyak di sebabkan oleh banyaknya sinar atau cahaya panas dari matahari yang menyoroti air laut dan sungai sehingga air menguap dan terjadi proses yang biasa disebut evaporasi pada siklus hidrologiPenjelasansemoga membantu
Asamlemak essensial dipengaruhi oleh suhu dan salinitas perairan yang memilki banyak manfaat diantaranya membantu perkembangan janin dan otak. Di sisi lain, pada ikan air tawar ada beberapa nutrisi yang lebih tinggi jumlahnya bila dibandingkan dengan ikan air laut. Misalnya ikan patin, yang terkenal tinggi kandungan omega-3 dan omega-6. Tanah lempung menyimpan air lebih banyak daripada tanah pasir, kekeringan di tanah lempung terjadi lebih lambat sudah pasti menjadi penyebab mengapa banyak sekali terjadi bencana alam seperti halnya lonsor, banjir, dls. hal ini mengakibatkan banjir besar di Jakarta pada tahun 2002. Sumber dampak yang sering disebut-sebut adalahPeningkatanluasan banjir terjadi karena: 1) konversi lahan dari lahan tutupan vegetasi (hutan mangrove, ruang terbuka) di dataran rendah Jakarta dibangun menjadi lahan pemukiman 2) pemukiman di bantaran situ dan sungai 3) Rusaknya infrastruktur penahan debit air, misalnya tanggul atau saluran air.
JAKARTA- Cuaca beberapa wilayah di Indonesia belakangan ini lebih panas dari biasanya.Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa suasana terik umumnya disebabkan oleh suhu udara yang tinggi dan disertai oleh kelembapan udara yang rendah, terutama terjadi pada kondisi langit cerah dan kurangnya awan, sehingga pancaran sinar matahari langsung lebih banyak diteruskan
diketahuibahwa di kawasan jakarta barat sebelah utara di sekitar batu ceper, penurunan muka air tanah hingga 44 m di bawah muka air laut, sedangkan di jakarta timur di sekitar kawasan pulo gadung tinggi muka air tanah turun hingga 16 m di bawah muka air laut dengan penurunan muka tanah hingga 180 cm selama (8) periode tahun 1982 - 1997 di
eXkPb.